Minggu, 14 Agustus 2011

Akhlak dengan Sesama Manusia

Semenjak Allah menurunkan agama islam ini kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah telah mewajibkan kepada umat ini untuk berprilaku baik, berakhlak mulia, dan menghormati sesama manusia, terlebih-lebih sesama kaum mukminin. Bahkan islam menjadikan pergaulan, dan muamalah yang baik sebagai tolok ukur bagi keimanan seseorang:
أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَاناً أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً
“Kaum mukminin yang paling sempurna imannya, adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dll)
Seorang muslim yang sedang menjalankan ibadah haji, pada hakikatnya sedang menjalani penggemblengan akhlak, sehingga bila ia benar-benar menjalani ibadah ini dengan baik, niscaya akan ada perubahan pada kepribadian dan perilakunya. Semenjak pertama kali seseorang memasuki ibadah haji, yaitu dengan berihram, maka ia tidak dibenarkan untuk berkata-kata jelek, atau melakukan kezaliman terhadap orang lain. Bukan hanya perbuatan kezaliman, bahkan hal yang akan mendatangkan kata-kata jelek, dan perbuatan zalim dilarang pula. Hal ini untuk membiasakan kita agar bisa menjauhi perbuatan-perbuatan tersebut.
الحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُوْمَاتُ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوْقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الحَجِّ
“(Musim) Haji adalah beberapa bulan yang telah diketahui, maka barang siapa yang telah menetapkan niat pada bulan ini untuk menunaikan haji, maka tidak boleh berbuat rafats, berbuat kefasikan, dan berbantah-bantahan di dalam melaksanakan haji.” (QS. Al Baqoroh: 197)
Rafats adalah berjima’ atau melakukan hal-hal yang mengundang timbulnya birahi, atau berbicara tentangnya di hadapan wanita (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/236-237)
Adalah salah satu bagian dari kepribadian seorang muslim yang sejati, ia meninggalkan segala hal yang tidak berguna bagi dirinya, termasuk dalamnya perdebatan yang tidak bermanfaat, terlebih-lebih bila perdebatan tersebut hanya akan mendatangkan timbulnya hal yang tidak terpuji. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَنَا زَعِيْمٌ بِبَيْتٍ فِيْ رَبَضِ الجَنَّة لِمَنْ تَرَكَ المِرَاء وَإِنْ كَان مُحِقّاً، وَبِبَيْتٍ فِيْ وَسَطِ الجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحاً، وَبِبَيْتٍ فِيْ أَعْلَى الجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ
“Aku menjamin, akan mendapatkan sebuah rumah di surga bagian bawah, bagi orang yang meninggalkan perdebatan, walaupun ia benar, dan sebuah rumah di tengah-tengah surga, bagi orang meninggalkan perbuatan dusta, walau hanya bergurau, dan sebuah rumah di surga paling tinggi, bagi orang yang akhlaknya baik.” (HR. Abu Dawud, At Thabrani, Al Baihaqi dll, dan dihasankan oleh Al Haitsami)
Ditambah lagi, ketika jamaah haji berada di kota Mekkah, maka ia akan selalu mengingat firman Allah:
وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحِادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيْمٍ
“Dan barang siapa yang bermaksud melakukan kejahatan secara zalim di dalamnya (Mekkah), niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian azab yang pedih.” (QS. Al Haj 25)
Para ulama menyebutkan, bahwa termasuk keistimewaan kota Mekkah, adalah barang siapa yang berniat untuk berbuat kejahatan di kota Mekkah, maka ia akan mendapatkan azabnya, walaupun ia belum melaksanakannya. Sahabat Ibnu Mas’ud menyatakan: “Seandainya ada orang di kota Aden (Yaman) yang berniat berbuat kejahatan di kota Mekkah dengan semena-mena, niscaya Allah akan menimpakan kepadanya sebagian azab yang pedih.” (diriwayatkan oleh Ahmad dan Al Hakim). Seandainya selama jamaah haji berada di kota Mekkah, benar-benar menghayati akan makna ayat ini, -Insya Allah- hatinya akan suci, dan akhlaknya menjadi mulia.
Di antara salah satu pelajaran penting yang bisa diambil oleh jamaah haji, dari amalan wukuf di padang Arafah, di mana seluruh jamaah haji mengenakan pakaian yang sama, berpenampilan sama, sehingga tidak kelihatan perbedaan derajat, kedudukan, kekayaan, yang ada di antara mereka. Ini adalah sebuah pemandangan yang mengingatkan akan satu hakikat yang telah dilalaikan oleh kebanyakan manusia; yaitu: Bahwa tidaklah ada perbedaan antara manusia di hadapan Allah, kecuali dengan ketakwaan.
Hakikat ini telah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam nyatakan dalam salah satu khotbah beliau pada hajjatul wada’ dengan bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ، أَلاَ إِنَّ رَبَّكم وَاحِدٌ وإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ، وَلاَ لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلاَ لأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلاَ لأَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى
“Wahai para manusia! Ketahuilah, bahwasanya Tuhan kalian adalah satu, dan ayah kalian adalah satu. Ketahuilah! Tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang ‘ajam (non Arab), dan juga tidak bagi orang ‘ajam atas orang Arab, juga tidak bagi orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, dan juga tidak bagi yang berkulit hitam atas yang berkulit merah, kecuali dengan ketakwaan.” (HR. Ahmad)
Sebagai salah satu praktek nyata yang pernah Rasulullah ajarkan kepada umatnya, adalah sabda beliau kepada sahabat Umar bin Khottob:
يَا عُمَرُ، إِنَّكَ رَجُلٌ قَوِيٌّ، لاَ تُؤْذِ الضَّعِيْفَ إِذا أَرَدْتَ اسْتِلاَمَ الحَجَرَ، فَإِنْ خَلاَ فَاسْتَلِمْهُ وَإلاَّ فاسْتَقْبِلْهُ وَكَبِّرْ
“Wahai Umar, sesungguhnya engkau adalah lelaki yang kuat, maka janganlah engkau menyakiti orang yang lemah, bila engkau hendak mengusap hajar (aswad), bila engkau mendapatkan kesempatan senggang, maka silakan engkau mengusap, dan bila tidak, maka silakan engkau menghadap kepada hajar aswad, lalu bertakbirlah.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqy)
Marilah kita bandingkan hadits ini dengan kenyataan yang terjadi di sekitar Hajar Aswad, niscaya akan kita dapatkan praktek-praktek yang sangat bertentangan dengan maksud-maksud ibadah haji. Pendidikan ini, tidak terbatas hanya semasa jamaah haji berada di kota Mekkah saja, bahkan di saat mereka berkunjung ke kota Madinah pun akan mendapatkan hal yang sama, karena kedua kota ini memiliki banyak persamaan, keduanya adalah tanah haram.
المَدِينَةُ حَرَمٌ مَا بَيْنَ عِيْرٍ وثَوْرٍ فَمَنْ أحْدَثَ فِيْهَا حَدَثاً أَوْ آوَى مُحْدِثاً فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ والمَلاَئِكَةِ والنَّاسِ أَجْمَعِيْن، لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ صَرْفاً وَلاَ عَدْلاً
“Madinah adalah tanah haram, antara gunung ‘Ir dan Tsaur, maka barang siapa yang berbuat kesalahan di dalamnya, atau melindungi orang yang berbuat kesalahan, maka ia ditimpa laknat Allah, para malaikat, dan seluruh manusia, Allah tidak akan menerima darinya pengganti atau tebusan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bila hal ini benar-benar dihayati oleh setiap jamaah haji, berarti ia benar-benar menjalani pendidikan akhlak, dan penyucian jiwa, sehingga perangai baik dan budi luhur yang ia lakukan selama satu bulan lebih, akan menyatu dengan darah dagingnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar